Sunday 16 June 2013

Cerpen Gabut Ale #2



     Saat dimana manusia lebih mementingkan penampilan fisik dari pada penampilan sifatnya adalah saat dimana manusia berevolusi—setidaknya begitu menurutku—dan aku sangat tidak menyukainya.
     Mereka terlalu berpikiran pendek.
***
                 “Jadi, kapan kau akan ikut berbelanja denganku?” ungkap Alice, matanya mengerling tepat ke arah cahaya matahari yang menyusup dari kedua celah jendela.
                 “Tidak akan,” endusku, “Bukankah sudah ku katakan padamu berulang kali?”
                Alice menurunkan tas gendongnya. “Kau tidak pernah tampak seperti remaja,” keluhnya kemudian, “Apa yang salah denganmu?”
                “Aku tidak tahu, serius deh. Sudahlah, jangan memaksaku.”
                Alice mengangkat bahu sambil mengikutiku dari samping. Aku membayar tiket masuk kampus—sebuah peraturan baru yang sangat memaksa—bergantian dengan Alice. Alice mendorong alat pemutar dengan wajah geram. Dia menatapku sambil menggigit bibir atasnya.
    “Apa?” tanyaku tak mengerti.
    Alice mengedipkan mata. “Pernah terpikir, tidak, mengapa kita harus membayar tiket mahal sialan ini?” tanyanya kesal sambil melinting potongan kertas yang bertuliskan namanya.
    “Tidak juga. Menurutku tiket baru ini adalah peraturan, jadi mau tidak mau kita harus mematuhinya. Bukankah begitu?”
    Alice tertegun. “Kau ini sangat aneh, Caroline.” ucapnya setelah beberapa saat.
    Aku memandangnya sambil berlalu, tidak tahu harus mengatakan apa.
    Alice memegang bahuku erat. “Kau cantik, Caroline. Tapi kau menutupinya. Mengapa kau harus menyembunyikannya dari semua orang?”
    Aku melepas cengkeramannya dan tertawa.
    “Apa sekarang?” matanya berkilat-kilat—dia sungguh serius mengkhawatirkanku—sambil mengangkat tas gendongnya tinggi-tinggi, menggantungkan talinya di pundak.
    Aku menarik tangannya. “Bel sudah berdering.”
    Dan aku tahu Alice baru saja sadar kalau di kampus ini tidak ada bel.    
 ***
                Aku dan Alice benar-benar terlambat memasuki kelas pertama. Dosen baru kami memarahi kami habis-habisan, untunglah tidak terlalu parah karena kami tidak mendapatkan hukuman. Veronica, temanku dari semester satu ada di kelas ini juga. Dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya, namun aku tidak melakukannya. Aku lebih memilih untuk duduk di sebuah kursi paling belakang, di dekat dua mahasiswa yang aku yakin aku pernah melihatnya sebelum hari ini, entah dimana.
                 Ketika aku sedang mencoba mengingatnya, seorang dari mereka mengoper secarik kertas padaku.
                "Dosen baru pertama, Mr.Gutchon. Sangat killer!"
                Aku hanya tersenyum simpul ketika membacanya.
    Mahasiswa itu juga tersenyum padaku, seakan-akan kami sudah saling kenal.
    “Richter,” ujarnya lirih memperkenalkan diri.
    Aku cukup kaget dia bisa membaca pikiranku.
    ”Caroline,” jawabku kemudian sambil mengembalikan kertas yang tadi Ia berikan padaku.
    Dia hanya mengangguk dan berkata, “Aku sudah tahu namamu.”
***
    Aku bersekolah di sebuah kampus kejurusan seni paling terkenal di kota. Kampus ini mengajarkan tentang musik, lukisan, fotografi, berakting, mendesain, dan percaya deh, itu semua sangat seru. Mr. Gutchon baru saja mengakhiri kelas pertama. Dia merupakan dosen yang mengajarkan tentang suluk-suluk berakting. Bahkan, ku pikir hidupnya sudah penuh dengan akting dan kepalsuan.
                Aku berdiri dan berjalan ke depan, menghampiri Alice.
                “Bagaimana?” tanyaku meminta pendapat.
                “Cukup menegangkan,” eluhnya sama sepertiku.
                Aku tertawa. “Baiklah, mari kita duduk di belakang. Duduklah di dekatku.”
                Alice mengangguk, kemudian menenteng tas gendongnya dan memindahkannya di kursi paling belakang.
                Aku dan Alice berbicara tentang liburan kami. Aku hanya mendengarkan, tidak bercerita, karena aku memang tidak pergi untuk berlibur.
   Ketika aku tengah tertawa mendengar ceritanya, Alice berbisik padaku.
   “Caroline,” bisiknya, “Mengapa dua orang itu terus memperhatikanku?”
               Aku mengangkat kedua alisku, kemudian menyadari siapa dua orang yang dimaksud Alice. Richter dan temannya yang wajahnya sangat familiar bagiku. Mereka menatapku—aku menyadarinya sejak awal—bukannya menatap Alice.
                Dan aku hanya menghembuskan nafas dan bertanya, “Apa kau yakin?"
 ***
#BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment