Saat
dimana manusia lebih mementingkan penampilan fisik dari pada penampilan sifatnya adalah saat dimana manusia berevolusi—setidaknya begitu
menurutku—dan aku sangat tidak menyukainya.
Mereka
terlalu berpikiran pendek.
“Jadi, kapan kau akan ikut berbelanja denganku?”
ungkap Alice, matanya mengerling tepat ke arah cahaya matahari yang
menyusup dari kedua celah jendela.
“Tidak akan,” endusku, “Bukankah sudah ku katakan
padamu berulang kali?”
Alice menurunkan tas gendongnya. “Kau tidak pernah
tampak seperti remaja,” keluhnya kemudian, “Apa yang salah denganmu?”
“Aku tidak tahu, serius deh. Sudahlah, jangan memaksaku.”
Alice mengangkat bahu sambil mengikutiku dari
samping. Aku membayar tiket masuk kampus—sebuah peraturan baru yang sangat
memaksa—bergantian dengan Alice. Alice mendorong alat pemutar dengan wajah geram. Dia
menatapku sambil menggigit bibir atasnya.
“Apa?”
tanyaku tak mengerti.
Alice
mengedipkan mata. “Pernah terpikir, tidak, mengapa kita harus membayar tiket
mahal sialan ini?” tanyanya kesal
sambil melinting potongan kertas yang bertuliskan namanya.
“Tidak
juga. Menurutku tiket baru ini adalah peraturan, jadi mau tidak mau kita harus
mematuhinya. Bukankah begitu?”
Alice tertegun. “Kau ini sangat aneh, Caroline.” ucapnya setelah beberapa saat.
Aku memandangnya sambil berlalu, tidak tahu harus mengatakan apa.
Alice
memegang bahuku erat. “Kau cantik, Caroline. Tapi kau menutupinya. Mengapa kau
harus menyembunyikannya dari semua orang?”
Aku
melepas cengkeramannya dan tertawa.
“Apa
sekarang?” matanya berkilat-kilat—dia sungguh serius mengkhawatirkanku—sambil
mengangkat tas gendongnya tinggi-tinggi, menggantungkan talinya di pundak.
Aku
menarik tangannya. “Bel sudah berdering.”
Dan aku tahu Alice baru saja sadar kalau di kampus ini tidak ada bel.
Dan aku tahu Alice baru saja sadar kalau di kampus ini tidak ada bel.
***
Aku dan Alice benar-benar terlambat memasuki kelas
pertama. Dosen baru kami memarahi kami habis-habisan, untunglah tidak terlalu
parah karena kami tidak mendapatkan hukuman. Veronica, temanku dari semester satu ada di kelas ini
juga. Dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya, namun aku tidak melakukannya.
Aku lebih memilih untuk duduk di sebuah kursi paling belakang, di dekat dua
mahasiswa yang aku yakin aku pernah melihatnya sebelum hari ini, entah dimana.
Ketika aku sedang mencoba mengingatnya, seorang dari
mereka mengoper secarik kertas padaku.
"Dosen baru pertama, Mr.Gutchon. Sangat killer!"
"Dosen baru pertama, Mr.Gutchon. Sangat killer!"
Aku hanya tersenyum simpul ketika membacanya.
Mahasiswa
itu juga tersenyum padaku, seakan-akan kami sudah saling kenal.
“Richter,”
ujarnya lirih memperkenalkan diri.
Aku
cukup kaget dia bisa membaca pikiranku.
”Caroline,”
jawabku kemudian sambil mengembalikan kertas yang tadi Ia berikan padaku.
Dia
hanya mengangguk dan berkata, “Aku sudah tahu namamu.”
***
Aku bersekolah di sebuah kampus kejurusan seni paling terkenal di kota. Kampus
ini mengajarkan tentang musik, lukisan, fotografi, berakting, mendesain, dan
percaya deh, itu semua sangat seru. Mr. Gutchon baru saja mengakhiri kelas pertama. Dia
merupakan dosen yang mengajarkan tentang suluk-suluk berakting. Bahkan, ku
pikir hidupnya sudah penuh dengan akting dan kepalsuan.
Aku berdiri dan berjalan ke depan, menghampiri Alice.
“Bagaimana?” tanyaku meminta pendapat.
“Cukup menegangkan,” eluhnya sama sepertiku.
Aku tertawa. “Baiklah, mari kita duduk di belakang.
Duduklah di dekatku.”
Alice mengangguk, kemudian menenteng tas gendongnya
dan memindahkannya di kursi paling belakang.
Aku dan Alice berbicara tentang liburan kami. Aku
hanya mendengarkan, tidak bercerita, karena aku memang tidak pergi untuk
berlibur.
Ketika
aku tengah tertawa mendengar ceritanya, Alice berbisik padaku.
“Caroline,”
bisiknya, “Mengapa dua orang itu terus memperhatikanku?”
Aku mengangkat kedua alisku, kemudian menyadari siapa
dua orang yang dimaksud Alice. Richter dan temannya yang wajahnya sangat
familiar bagiku. Mereka menatapku—aku menyadarinya sejak awal—bukannya menatap
Alice.
Dan aku hanya menghembuskan nafas dan bertanya, “Apa kau yakin?"
***
#BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment